Senin, 30 November 2020

Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan dengan Pendidikan Berbasis Kesetaraan Gender dari Rumah

 


Kekerasan berbasis gender di negara Indonesia termasuk kekerasan terhadap perempuan memang merupakan masalah yang besar dan perlu perhatian serius. Di masa pandemi ini, grafik kasus kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan malah cenderung meningkat. Sebut saja beberapa hari yang lalu di kota Malang ada kasus pelecehan seksual terhadap seorang wanita di tempat umum. Wanita tersebut sedang menunggu pesanan makanan di pinggir jalan. Tiba-tiba ada laki-laki yang menghampiri dan meremas (maaf) payudaranya. Pelaku langsung kabur dengan menggunakan sepeda motor. 

            Bukan hanya itu, kekerasan terhadap perempuan juga banyak terjadi dalam keluarga baik di kota maupun desa. Saya sering mendapati teman atau saudara yang harus rela menerima saat menjadi korban kekerasan oleh suaminya sendiri. Bentuknya beragam, ada yang dibully secara verbal maupun perilaku, ditelantarkan, dieksploitasi, bahkan dihajar fisiknya. Parahnya, dia tak berdaya. karena tak memiliki kekuatan untuk melawan atau bahkan diancam. Apalagi bagi perempuan di desa, perceraian umumnya dianggap aib bagi keluarga besar.  

Berdasarkan informasi dari Ibu Maria Ulfah Anshor (Komisioner Komnas Perempuan) dalam Webinar Anti Kekerasan Berbasis Gender yang dilaksanakan oleh  Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan secara daring, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan terus meningkat tiap tahunnya dan ini bisa jadi hanya yang lapor saja. Jumlah di lapangannya pasti jauh lebih banyak. Keadaan ini tentu saja sangat memprihatinkan. Perempuan sebagai sosok sentral dalam keluarga seharusnya mendapatkan jaminan rasa aman agar dapat melahirkan anak bangsa yang berkualitas. 

 

 

Jika mau menjabarkan, kenapa sih terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan biasanya dilakukan oleh suami? Saya yakin, setiap laki-laki yang melakukan kekerasan kepada pasangannnya, adalah laki-laki yang mendapatkan perlakuan kurang baik saat kecilnya. Bisa jadi ada trauma masa kecil yang belum terselesaikan. Dendam itu terus tumbuh ditambah dengan tekanan sana sini, meledaklah pada istrinya. Sayangnya, pola ini akan terus berlanjut serta diwariskan ke generasi berikutnya. Jika saja tak ada upaya memutus mata rantainya.

Upaya-upaya untuk setidaknya mengurangi kekerasan terhadap perempuan sebenarnya bisa dilakukan dari rumah sejak anak kecil. Diperlukan kesadaran diri dari kedua orang tua untuk memaafkan masa lalu dan tidak melampiaskan pada anaknya. Mata rantai itu harus diputus. Dan yang bisa memutuskannya adalah orang tua saat ini. Berdamai walau tak mudah demi kebaikan anak di masa mendatang adalah pengorbanan yang tak akan sia-sia.

Orang tua bisa belajar ilmu parenting. Perlakukan anak dengan penuh kasih sayang. Berikan contoh bagaimana memperlakukan perempuan. Jangan membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkembang. Hapus budaya patriarki yang nyatanya sangat merugikan perempuan. Dan yang tak kalah penting, bentengi anak agar terhindar dari bahaya pelecehan seksual baik di lingkungan sekitar maupun sekolah. Ini sangat penting, mengingat kejahatan bisa terjadi di mana saja dan orang tua tak selamanya bisa mengawasi.

 


Harapan saya, semoga ada semacam Lembaga Masyarakat setingkat minimal kecamatan, yang fokus mengedukasi sampai ke pedesaan tentang perlindungan terhadap perempuan dan parenting anak. Semoga tidak ada lagi diskriminasi, agar perempuan Indonesia juga ikut berperan aktif menjadi bagian dari pembangunan bangsa ini. 

 


 

Artikel Terkait

adalah seorang Ibu dari dua anak hebat dan Penulis Buku. Bisa dihubungi di Facebook atau email yetinurma82@gmail.com


EmoticonEmoticon