“Hai anak penyihir! Itu kursiku!”
Kalimat itu sudah begitu akrab di telinga Siti. Tiada hari tanpa sebutan anak penyihir, anak tukang santet dan anak nenek lampir. Siti sebenarnya sudah tidak mempermasalahkan lagi. Apalagi Nenek juga menyuruhnya untuk tidak peduli. Terserah mereka saja. Tapi, kali ini dia agak terusik. Siti sengaja berangkat sebelum matahari terbit, agar bisa duduk paling depan. Karena, hari ini pelajaran matematika dan dia sangat menyukai pelajaran itu.
“Nggak mau!” Siti bergeming
“Minggir!” Toni mencoba mendorong Siti.
“Dibilang aku tidak mau pindah!” Siti mendorong Toni hingga anak laki-laki itu terjatuh.
“Ada apa ini?” tiba-tiba Bu Lela masuk.
“Siti mendorong Toni, Bu,” ujar Asih.
“Sssstt … hati-hati, nanti disantet neneknya seperti Sari lo. Mampus kalian,” celetuk Wawan.
“Hush, tidak baik menuduh sembarangan. Sudah ya, kita mulai belajar.”
Hari itu pelajaran matematika. Bu Lela tahu betul kalau Siti menyukai pelajaran ini. Dia memberikan kesempatan Siti mengerjakan soal di depan kelas. Dengan mata berbinar, Siti maju dan berhasil mengerjakan soal dengan baik.
“Bagus, Siti. Kamu anak yang cerdas,” puji Bu Lela.
“Terima kasih, Bu.”
Saat pelajaran terakhir selesai, semua murid berhamburan pulang. Siti pun berlari dengan hati riang. Dia ingin segera bercerita pada nenek. Wanita tua yang sudah dia anggap ibu sendiri itu pasti akan bahagia mendengarnya. Nenek sangat berharap Siti bisa terus sekolah dan menjadi guru. Walau itu bisa dibilang terlalu muluk, mengingat kebanyakan anak di kampung itu selesai SD langsung dinikahkan atau masuk pesantren setahun dan menikah juga akhirnya.
Jarak jauh dengan melintasi hutan yang kadang ada babi hutannya melintas, tak pernah menjadi kendala bagi Siti untuk berangkat ke sekolah. Nenek sering mengantar dan menjemputnya di hutan. Tapi ternyata hari itu nenek tak ada.
Di kejauhan, Siti melihat ada motor depan rumah. Hati Siti langsung berdetak cepat. Apalagi ada bapak-bapak sedang duduk-duduk tak jauh dari rumah. Siti mempercepat larinya.
“Nenekku mana?” Siti langsung bertanya
“Maaf Nak Siti, Nenekmu sudah meninggal karena terjatuh di kolam,” jawab Pak Kades dengan hati-hati.
“Hah! Nenek…!” Siti terisak.
“Kemarin nenekmu meminta bapak merawat dan menyekolahkanmu. Kamu ikut dengan bapak ya. Ibu akan mengurusmu dengan baik.”
Siti makin sesenggukan. Pak Kades memeluknya.
“Baju dan semua barang Siti sudah ada di tas ini. Ayo ikut bapak ya.”
Siti pun menurut. Dia dibonceng Pak Kades meninggalkan kampungnya dimana ia lahir dan tumbuh. Siti ingat semalam nenek menyemangatinya untuk selalu sabar dan berani. Nenek ingin dirinya terus sekolah. Air mata Siti pun semakin deras. Tak lama, dari kejauhan dia melihat rumahnya dibakar.
*
Berita tentang kematian dukun santet menyebar dari mulut ke mulut. Akhirnya Siti pun tahu bahwa neneknya meninggal bukan karena kecelakaan, tapi dibunuh karena dianggap membahayakan banyak orang, Tentu saja dia sedih sekali. Karena bagi Siti, nenek sangat baik dan tidak mungkin menyakiti orang lain.
Siti semakin sedih saat suatu hari tahu bahwa neneknya menyerahkan diri untuk dibunuh dengan syarat Pak Kades mau merawat dan menyekolahkannya. Walau pun Pak Kades bilang bahwa dia tak bisa menahan amarah warga lagi, Siti tetap menyimpan kekesalan mendalam.
*
Sebulan setelah kejadian itu, tiga orang penduduk di daerah dekat rumah Siti dulu meninggal dalam semalam. Kematiannya pun tak wajar. Masyarakat kembali panik. Bukankah Nenek Penyihir telah mereka bunuh? Lalu siapa yang kini menyantet ketiga orang tersebut?
***
*Penulis : Yeti Nurmayati
*Cerpen yang terinpsirasi dari kisah penyantet yang dibunuh di sebuah desa zaman dulu.
EmoticonEmoticon